Berhari-hari Unjuk Rasa di Maroko dan Madagaskar
![]() |
Ilustrasi unjuk rasa di Afrika (Freepik). |
Di perbatasan Afrika, dua negara yaitu Maroko dan Madagaskar mengadakan unjuk rasa berhari-hari lamanya. Dilansir dari Al-Jazeera, tidak hanya diadakan lama, unjuk rasa berakibat meninggal dunianya banyak warga.
Pengunjuk Rasa Meninggal di Maroko
Setidaknya tiga warga telah meninggal, saat unjuk rasa mencapai hari keenam di Maroko, hingga hari Kamis (2/10) lalu. Pengunjuk rasa meninggal akibat tembakan polisi di kota Leqliaa, arah selatan dari kota Agadir.
Kementerian Dalam Negeri Maroko menyatakan bahwa tiga warga ditembak akibat mencoba merebut senjata polisi, walau tidak ada saksi yang bisa meyakinkan testimoni tersebut.
Asosiasi Hak Asasi Manusia Maroko menyatakan bahwa ratusan pengunjuk rasa lainnya terluka, dan seribu warga telah ditahan selama unjuk rasa berlangsung.
Demonstrasi diorganisir daring melalui grup bernama GenZ 212, yang menggunakan portal media sosial TikTok, Instagram, dan Discord.
Melalui teriakan dan poster, warga Maroko menyatakan protes atas Milyaran Dolar investasi demi persiapan Piala Dunia 2030, sementara banyak sekolah dan rumah sakit yang kekurangan dana serta dalam kondisi memprihatinkan.
Mengacu pada pembangunan dan renovasi stadion di seluruh negara, pengunjuk rasa berteriak, "Stadion sudah banyak disini, tetapi dimana adanya rumah sakit?"
Dengan meningkatnya kekerasan, Perdana Menteri Aziz Azkhanoch menyatakan bahwa dirinya terbuka untuk dialog, demi meredam unjuk rasa.
Kementerian Dalam Negeri menyatakan bahwa ratusan mobil telah dirusak, termasuk diantaranya adalah bank, toko, dan gedung umum di 23 provinsi di seluruh Maroko.
Dalam pernyataanya hari Rabu (1/10), grup GenZ 212 menolak kekerasan dan berkomitmen untuk terus melanjutkan unjuk rasa damai. Mereka tidak memiliki masalah dengan aparat keamanan, namun hanya kepada pemerintahnya saja.
GenZ 212 menyatakan pula pada haru Kamis bahwa unjuk rasa yang diorganisir adalah bagian dari ekspresi sipil dan bertanggung jawab atas pendapat kami. Pernyataan ini dijabarkan agar unjuk rasa tidak berakhir kekerasa, dan hormat pada dasar pergerakan ini.
Saat ini Maroko tengah bersiap untuk menjadi tuan rumah Piala Afrika 2026, dan pemilu parlemen di 2026 mendatang. Fokus pengunjuk rasa justru menyatakan tentang kesenjangan sosial yang tinggi di Maroko.
Unjuk rasa mengenai keadaan ekonomi dan sosial lumrah terjadi di Maroko, namun demonstrasi minggu kemarin adalah yang paling keras sejak tahun 2016 dan 2017 lalu.
Pengunjuk Rasa Meninggal di Madagaskar
Sementara di Madagaskar, 22 pengunjuk rasa telah meninggal semenjak demonstrasi dimulai tanggal 25 September lalu, seperti dilansir dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN). Ditayangkan di televisi nasional, kepolisian meluncurkan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa di ibukota Antananarivo.
Pengunjuk rasa mengambil alih jalanan ibukota Antanarivo, pada hari Jumat (3/10), yang meminta mundurnya presiden akibat gagal dalam menyediakan infrastruktur dasar seperti air dan listrik.
Namun, Presiden Madagaskar Andry Rajoelina menolak pengunduran dirinya, dan menganggap permintaan tersebut adalah plot kudeta dari saingan politiknya.
"Tidak ada satupun yang mendapatkan manfaat dari hancurnya sebuah negara. Saya disini dan siap mendengar, lalu siap memberi bantuan, dan solusi untuk Madagaskar," ujar Rajoelina melalui siarannya di laman Facebook.
Tanpa memberi bukti, Rajoelina menyatakan pula bahwa beberapa politisi telah membuat plot untuk memanfaatkan unjuk rasa, dan mengambil langkah kudeta, saat dirinya mengikuti Majelis Umum PBB di New York.
"Maksud saya, ada beberapa orang yang ingin menghancurkan negara ini," ujar Rajoelina, tanpa menyebutkan siapa dibalik plot tersebut.
Pergerakan Gen Z menolak pernyataan Rajoelina dan dianggap tidak berdasar, dan akan terus berunjuk rasa jika presiden tidak merespon baik.
Madagaskar adalah negara kaya sumber daya alam, tetapi tetap menjadi negara termiskin didunia. Menurut Bank Dunia (WB), 75 persen dari 32 juta warganya berada di bawah batas kemiskinan.
Akibat besarnya unjuk rasa, selama tiga hari Rajoelina perlu mengadakan rapat darurat dan membuka dialog dengan berbagai kalangan.
Menurut Menteri Luar Negeri Madagaskar, Rasta Rafaravavitafika menyatakan bahwa negaranya mengalami serangan siber yang masif, dan menargetkan kampanye digital manipulatif, yang dikirim dari luar negeri.
Rafaravavitafika menyatakan bahwa grup oportunis tersebut telah menyusup pada unjuk rasa, dan mengeksploitasi kelemahan warga muda Madagaskar.
Komentar
Posting Komentar