Cara Louis Braille Merelovusi Sistem Penulisan Aksara

 

Lukisan wajah Louis Braille (Wikipedia).

Sejak awal sistem penulisan ditemukan lebih dari lima ribu tahun yang lalu di Mesopotamia kuno, tulisan selalu bergema di seluruh sejarah manusia. 

Dilansir dari National Geographic, Yunani serta Romawi kuno mengembangkan sistem aksara yang unik, sementara China membuat sistem karakter yang kompleks.

Sebagai landasan peradaban manusia, tulisan sangat fundamental bagi aturan hukum, akumulasi pengetahuan serta budaya. Namun, baru di abad 19 para tunanetra dapat mengakses sebuah sistem penulisan.

Pada tahun 1824 hingga 1825, Louis Braille menciptakan sistem dengan bentuk aksara titik yang dapat dibaca dengan tangan. Awalnya inovasi ini tidak diacuhkan, tetapi akhirnya diadopsi secara universal pada abad 20, yang membuka jalur agar warga tunanetra dapat belajar.

Dalam sebuah pidato di Sorbonne saat upacara kematian Braille, Helen Keller sempat menyatakan, "Kami para tunanetra, sangat berhutang budi pada Louis Braille, sama seperti manusia pada Gutenberg."

Kecelakaan yang Merubah Nasib

Sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, Braille lahir pada tahun 1809 di desa Coupvray, 35 kilometer arah timur Paris, Perancis. Ayahnya bernama Simon-Rene yang bekerja sebagai pembuat kelana tunggangan kuda. Keluarganya tinggal dengan nyaman, dan memiliki lahan anggur sebagai bahan produksi lainnya.

Di lokasi inilah Braille mengalami kecelakaan yang menyebabkan dia tunanetra, dan merubah nasib dirinya serta sejarah dunia. Sebagai anak kecil batita yang penasaran, Braille bermain dengan alat pembuat pelana milik ayahnya. 

Ketika tengah membuat lubang pada lembaran kulit menggunakan penusuk, alat tersebut tergelincir dan menusuk matanya. Luka di matanya berujung infeksi yang menyebar ke dua mata miliknya, sehingga Braille buta saat berumur lima tahun. Obat antibiotik saat itu belum ditemukan.

Orangtuanya khawatir di jaman saat banyak tunanetra dianggap sebagai manusia kelas rendah, dan sering dicemooh. Di Perancis, banyak warga tunanetra yang duduk mengemis di jalanan kota.

Sekolah belum menjadi kebutuhan utama di Perancis, namun orangtua Braille mengerti pentingnya literasi. Simon-Rene memasang paku berbentuk alfabet pada sebuah panel, dan pastur bernama Abbe Jacques Palluy mulai mengajari Braille.

Saat berumur tujuh tahun, Braille mengunjungi sekolah lokal, dimana dirinya hanya satu-satunya murid tunanetra. Gurunya kagum akan kepintaran dan sikap bahagia Braille, yaitu karakter yang sangat dikagumi seluruh temannya sepanjang hidupnya.

Saat berumur 10 tahun, beasiswa mengamankan Braille untuk belajar sebagai murid paling muda di Institut Royal untuk Anak Muda Tunanetra, yaitu sekolah pertama di dunia bagi murid tunanetra, yang sekarang bernama Institute Nasional  untuk Anak Muda Tunanetra (INJA).

Hal paling mengagumkan adalah keluarga Braille mengikhlaskan dirinya untuk tinggal jauh dari rumah. "Ibu dan ayahnya dapat saja mengasuh Braille di rumah. Namun, mereka baru saja menulis sejarah tanpa merencanakannya sama sekali," ujar Farida Saidi-Hamid, kurator Museum Louis Braille.

Dukungan keluarga tetap konstan bagi Braille, yang dapat terus kembali ke rumah untuk beristirahat dan kembali sehat sepanjang hidupnya.

Kesempatan Edukasi

Didirikan oleh pengajar bernama Valentin Hauy, institut ini memiliki metodologi yang unik di masanya. Seluruh siswa belajar mata pelajaran dan buku manual, dengan buku yang hurufnya menonjol dan dibaca dengan ujung jarinya, walau masih sulit pada masa tersebut. 

Sekolah ini adalah lokasi inovasi sekaligus kematian bagi Braille, karena dirinya terjangkit tuberkolusis yang merebut nyawanya disini.

Gedung yang berada di lokasi Latin Paris, cukup jorok, lembab, dan rusak. Dulunya gedung ini memang digunakan sebagai penjara saat Revolusi Perancis. 

Tetapi dengan lokasi yang jelek, dan hukuman berat bagi murid yang melanggar aturan, Braille justru semakin maju, dengan berprestasi di sekolah dan memiliki banyak teman. Gurunya menyatakan bahwa Braille sangatlah pintar dan memiliki kualitas spiritual. 

Temannya bernama Hippolyte Coltat, menulis bahwa, "Berteman dengan dirinya (Braille) adalah hal yang sangat penuh hati nurani sekaligus sentimen yang halus. Dia berkorban apapun, waktu, kesehatan, hingga barang demi persahabatan."

Momen Eureka

Katalis dari penemuan Braille tiba pada tahun 1821. Kapten Charles Barbier adalah seorang petugas artileri, yang membuat 'tulisan malam' bagi pasukan Perancis, agar dapat mengirimkan dan melaksakan tugas saat malam hari.

Yakin bermanfaat bagi tunanetra, Barbier merubah bentuk titik dan garis kode menjadi sistem fonetik, yang dapat diajarkan kepada para siswa. 

Terdapat kekurangan dari segi linguistiknya, yaitu sonografi yang merubah bahasa menjadi suara, maka ejaannya menjadi tidak akurat dan tidak adanya tanda baca. Tetapi Braille memiliki pencerahan, dimana sistem titik adalah metode mudah dan efisien bagi tunanetra saat menulis dan membaca.

Braille menghabiskan empat tahun berikutnya untuk menciptakan kode tersebut. Di institut, dia begadang sepanjang malam setelah kelasnya selesai. Bahkan saat tengah liburan ke rumahnya di Coupvray, warga desa sering melihatnya duduk diatas bukit dengan pena jarum dan kertas di tangannya.

Saat berumur 15 tahun, dia berhasil menciptakan tulisan Braille. Dasarnya adalah sebuah sel dengan enam titik, yang diatur dengan dua kolom dan tiga baris. Setiap kombinasi titik yang menonjol berarti sebuah huruf pada alfabet. Tulisan ini terlihat elegan dalam kesederhanaan dan logikanya.

Siswa di sekolah dengan cepat menggunakannya, dengan kapasitas non resmi dari Kepala Sekolah Francois-Rene Pignier. Braille melampirkan hutang budi pada Barbier dalam bukunya tahun 1829 lalu, berjudul Metode untuk Menulis Kata, Musik, dan Lagu Dengan Titik agar Digunakan oleh Tunanetra.

"Jika kita harus mengemukakan kelebihan manfaat metode ini daripada milik Barbier, maka kita harus menghargai metode dirinya yang memberi gagasan pertama bagi kami," ujar Braille.

Usaha Pengakuan Braille

Meski Pignier mempromosikan Braille dan hurufnya pada pemerintah Perancis, sistem ini tidak langsung diterima. Pemerintah yang menjabat didikte oleh mata normal, dan lebih menyukai penggunaan seragam satu sistem penulisan, sehingga terlalu risih untuk berubah.

Braille menjadi guru di institut saat berumur 19 tahun, dan pada saat berumur 26, dirinya didiagnosa penyakit tuberkolusis, yang menyebabkan dirinya harus istirahat di rumahnya di Coupvray.

Mesin politik akhirnya menggantikan Pignier, dimana penggantinya yang bernama Pierre-Armand Dufau, menolak tulisan Braille. Dufau bahkan membakar buku Braille serta menghukum siswa yang tertangkap menggunakannya.

Braille tetap kokoh pada penerimaan sistem penulisannya. Sebuah surat yang dia kirimkan tahun 1840 kepada Johanna Wilhelm Klein, seorang pendiri sekolah tunanetra di Vienna, menunjukkan sifat sederhana dalam mempromosikan sistem penulisannya. Bahkan dirinya tetap mempertimbangkan titik deka.

"Saya bahagia jika metode kecil saya dapat berguna bagi siswa di sekolah anda, dan jika spesimen ini terbukti baik bagi anda, maka saya merasa terhormat untuk hal ini. Yang terhormat dari pelayan rendah hati, Braille."

Momen pengakuan Braille tiba pada tahun 1844, saat pelantikan sekolah baru di Boulevard des Invalides. Saat ini, Dufau telah merubah pendapatnya mengenai Braille, akibat kokohnya pendapat dari wakil kepala sekolah Joseph Guadet. 

Setelah pidato mengenai sistem titik menonjol, siswa menunjukkan caranya dengan membaca dan mengeja berbagai ayat. 

Guadet lalu menulis, "Braille sangatlah sederhana, bahkan terlalu sederhana... orang di sekitar dirinya tidak cukup menghargai dirinya... Kami mungkin yang pertama mengakui dirinya di depan publik, dengan menyebarkan sistem Braille pada instruksi musik atau mengakui seluruh inovasinya."

Menyambung Titik

Louis Braille tidak hidup untuk melihat adopsi universal sistem penulisannya. Dia meninggal pada tanggal 6 Januari 1852, diiringi teman dan saudaranya. 

Tidak ada satu koran pun yang menunjukkan momen kematian Braille, yang dianggap sebagai 'rasul cahaya' oleh Jean Roblin, kurator pertama Museum Louis Braille. Para siswa menabung bersama untuk dapat menyewa Francois Jouffroy, dan membuat patung marmer Braille berdasarkan topeng kematian miliknya.

Tahun 1878 di Paris, kongres global bagi tunanetra dan tunarungu menyarankan standar internasional bagi sistem penulisan Braille. Sistem ini akhirnya diadaptasi bagi pengguna Inggris pada tahun 1932, setelah UNESCO menerapkan di India, Afrika, dan Timur Tengah. Warisan Braille akan selalu dikenang.

Saat upacara kematian 100 tahun miliknya, prestasi Braille akhirnya dirayakan sebagai hari raya nasional. Tubuhnya digali dari kuburan Coupvray dan ditransfer ke Paris Pantehon, sebagai lokasi pemakaman bagi warga berjasa di Perancis. (Tangannya tetap berada di sebuah guci di lokasi pemakaman Coupvray).

Parade di jalanan kota Paris termasuk diantaranya ratusan warga tunanetra, yang saling berpegangan siku, mengenakan kacamata hitam, dan menggunakan tongkat berwarna putih pada jalanan batu.

Setelah 200 tahun sejak penemuan sistem tulisan Braille, usaha mengakui Braille masih dilanjutkan. Saat ini bukan hanya mengenang Louis Braille sebagai penciptanya, tetapi mengenalkan sistemnya di dunia digital.

Saat ini, siswa muda tunanetra belajar melalui program layar dan audio. Tetapi ahli saraf berpendapat bahwa menulis sangatlah penting bagi kemampuan berpikir, konektifitas otak, dan pembelajaran. 

Manfaat kognitif menulis sangatlah fundamental. Banyak kajian menunjukkan bahwa seorang tunanetra yang membaca melalui sentuhan, maka korteks visualnya akan tercerahkan.

Dengan sedikitnya guru Braille di seluruh dunia, literasi Braille semakin menurun drastis, dan masa depannya kurang baik. Said-Hamid sebagai kurator museum Louis Braille selama 17 tahun terakhir, menyamakan usahanya dalam menjaga Braille adalah 'perang dalam mempertahankan kepintaran itu sendiri.'

Dengan mengacu pada kepribadian baik Braille, Said-Hamid menyatakan bahwa, "Dia selalu menganggap kelemahan dirinya sebagai kelebihan, dan bukanlah batasan."

Sama seperti usaha Braille selama masih hidup, perjuangan mempertahankan sistem penulisannya haruslah terus dilanjutkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Negara Mengakui Kedaulatan Negara Palestina saat Majelis Umum PBB

Contoh Kasus Obat Resep Dokter Berujung Adiksi Heroin

Timo Tjahjanto Menyutradarai Film Nobody 2

Animasi 2D Mantap dari Indonesia ala Panji Tengkorak

Sejarah Awal Terbentuknya Pariwisata Sebagai Komoditas Budaya

Fitur Keamanan Instagram dan Youtube Bagi Anak Kecil dan Remaja

Sungai Sebagai Bagian Peradaban Manusia

Para Biarawan Sempat Membantu Inovasi Bahasa Isyarat

Gejala dan Pencegahan Demam Berdarah