Contoh Kasus Obat Resep Dokter Berujung Adiksi Heroin
![]() |
Ilustrasi penyalahgunaan obat adiktif (Freepik). |
Dengan jumlah resep obat seperti Vicodin semakin meroket di AS, kepolisian menyatakan bahwa pasien pecandu narkoba semakin banyak, lalu berlanjut pada penyalahgunaan heroin.
Dilansir dari Healthline, selama dua dekade terakhir, tren yang berbahaya telah menarik perhatian kepolisian, ahli medis, hingga konsultan obat terlarang. AS memang mengalami masalah heroin.
Lebih dari enam tahun lamanya, jumlah pecandu heroin meningkat dua kali lipat, dari 90 ribu jiwa di tahun 2006, menjadi 156 ribu jiwa di tahun 2012.
Tahun 2000 lalu, 1.842 pecandu meninggal akibat overdosis heroin. Di tahun 2014, jumlah tersebut meningkat empat kali lipat, yaitu mencapai 10.574. Gedung Putih AS menyatakan, bahwa warga Amerika yang meninggal akibat overdosis, lebih besar daripada kecelakaan bermotor.
Faktanya, jumlah yang meninggal akibat overdosis di AS pada tahun 2014 lalu, mencapai 47.055 jiwa, lebih banyak daripada jumlah yang meninggal saat puncak epidemi AIDS pada tahun 1995 lalu.
"Kecanduan heroin telah semakin meningkat dari banyak sisi. Penyalahgunaan, perawatan, hingga jumlah kematiannya meningkat terus," ujar Dr. Wilson Compton, Wakil Direktur dari Institut Nasional Penyalahgunaan Obat (NIDA)."Seharusnya penyalahgunaan obat dikualifikasikan sebagai epidemik, jika dilihat dari deskripsi tersebut," tambah Compton.
Beberapa teori telah mengkaji beberapa penyebab naiknya pecandu heroin dalam beberapa tahun tersebut, termasuk diantaranya adalah suplai dan permintaan, serta penyelundupan obat.
Tetapi mayoritas aparat kesehatan dan pembuat kebijakan hukum AS telah menyadari, bahwa naiknya jumlah resep obat pereda nyeri tipe opioid seperti Vicodin dan Percocet, adalah penyebab utama.
"Mayoritas pecandu heroin saat ini, pertama kalinya terpapar opioid yang berasal dari resep obat. Faktanya terjadi pada 80 persen pecandu heroin saat ini. Berbeda dengan 30 hingga 40 tahun lalu, saat opioid pertama adalah heroin," ujar Compton.
Opiat versus Opioid
Lebih dari enam puluh persen overodosis obat pada tahun 2014, berakibat dari penyalahgunaan opioid. Heroin dan pereda nyeri legal (resmi) seperti morfin dan kodein berbeda dengan obat dari bunga opium. Pereda nyeri alami ini biasa disebut sebagai obat opiat.
Istilah opioid, dulunya berarti zat yang diciptakan secara sintetis, namun sekarang menjadi istilah bagi seluruh obat yang berefek analgesik (pereda nyeri), sebagai reseptor opioid pada sistem saraf tubuh.
Opioid sintentis maupun alami, akan berfungsi dengan cara yang sama. Respon tubuh terhadap rasa sakit adalah proses stimulus, contohnya saat benda tajam, panas, tumpul, dan radang memberi peringatan saraf tubuh menuju otak. Otak lalu mengirimkan balik sinyal ke tubuh, bahwa rangsangan tersebut sakit.
Ketika jalur saraf pada opioid lebih kompleks, obat akan menahan respon otak pada rangsangan sakit. Stimulus tetap merangsang otak, tetapi obat opioid mencegah respon rasa sakit ke tubuh.
"Otak tidak membedakan antara heroin dan opioid dari resep. Mayoritas dampak opioid berada dalam otak saja. Efek tersebut tidak merubah rasa sakit, tetapi merubah persepsi. Rasa sakit tidak akan hilang, tetapi tidak menganggu saja," ujar Compton.
Resep obat resmi opioid sangat berguna untuk rasa sakit akun dari patah tulang, luka teriris, atau sakit setelah operasi bedah. Tetapi obat opioid yang digunakan berulang saat kondisi kronis, maka toleransi dan ketergantungannya akan ikut berkembang.
Toleransi obat adalah ketergantungan pada semakin banyaknya dosis, untuk mencapai efek analgesik. Ketergantungan, maka tubuh membutuhkan dosis teratur dan rutin dari zat tersebut, untuk mencegah gejala penarikan.
Menyebabkan Euforia
Dr. Peter Grinspoon, dokter keluarga dari Massachusetts, AS, dan penulis Buku Free Refills, menyatakan bahwa dirinya sangat mengerti candu obat. Dia belajar sebagai mahasiswa kedokteran di Harvard, ketika ayah pacarnya mengirimkan sejumlah paket obat ke kampus, termasuk diantaranya adalah Vicodin.
"Kami tentu mengecek seluruh obat yang terdapat didalamnya. Label Vicodin menyebutkan peringatan, 'menyebabkan euforia dan salah persepsi kesehatan tubuh.' Kami lalu mencobanya," ujar Grinspoon.
Selama kuliah, hingga magang, dan prakteknya sebagai dokter, Grinspoon terus menerus menyalahgunakan obat resep opioid.
"Sangatlah stres bagi dokter, ditambah dengan akses tidak terbatas dari obat resep opioid bagi dokter fisik. Kombinasi yang buruk sekali, stres dan akses," ujar Grinspoon.
Pada tahun 2005 lalu, kepolisian negara bagian dan Kepolisian Administrasi Obat (DEA), dengan mengacu pada kesaksian farmasi lokal, 'berkunjung' ke klinik dokter miliknya. Grinspoon lalu kehilangan lisensi medis, menjalani rehabilitasi, kambuh beberapa kali, dan akhirnya sembuh pada tahun 2007 lalu.
Grinspoon mengakui bahwa candu dirinya menyebabkan salah keputusan, bukan hanya pada diri sendiri, tetapi pada pasiennya. Grinspoon mengakui mendapatkan sedikit dosis dari resep pasiennya, bahkan mencuri dari pasien yang sakit parah.
"Pasien yang saya ajak berbagi resep, saling berbagi candu atau pengalihan dari zat yang terkendali. Apa yang saya resepkan, saya tidak tahu bahwa mereka mengonsumi atau menjualnya," ujar Grinspoon.
Kini Grinspoon telah kembali berpraktek, dengan perspektif bahwa opioid dan candu bukan hanya menjadi kelumpuhan jati dirinya, tetapi cerita seorang pecandu dari pusat rehabilitasi.
"Candu yang saya alami, berhenti sebelum berlanjut pada heroin. Banyak pecandu yang menggunakan pil, akhirnya harus menggunakan heroin karena tidak sanggup membayarnya," ujar Grinspoon.
Dia sempat mengalami pasien yang candu heroin, dan mengalami pula pasien yang overdosis. Grinspoon menyatakan bahwa tanda peringatan penyalahgunaan obat tidak spesifik sama sekali.
"Saya pernah melihat sebuah pasangan yang terlihat serasi. Namun, saya terkejut saat tahu bahwa mereka mengonsumsi heroin setiap harinya. Saya merasa telah menjadi pendeteksi candu, namun (candu) kadang tidak terdeteksi sama sekali," ujar Grinspoon.
Dari Pil Menjadi Heroin
Grinspoon dan Compton telah mengakui bahwa resep obat berperan penting untuk mencegah adiksi. Tetapi jalur menuju adiksi tidak begitu saja terjadi.
"Banyak pecandu meninggal akibat overdosis, dan diantaranya tidak menggunakan resep obat yang tertulis. Masalah berasal dari ketersediaan di lingkungan. Pecandu akan saling berbagi, mencuri, atau mengalihkan pilnya," ujar Compton.
Naiknya pamor opioid dan heroin tiba bersama naiknya perkenalan formula dan resep baru obat opioid dari perusahaan farmasi, pada akhir tahun 1990an hingga awal 2000 lalu.
Ketersediaan obat-obatan ini didukung oleh pemasaran yang salah dari Purdue Pharma, yang memproduksi OxyContin. Mereka promosi bentuk obat yang kurang adiktif dari opioid lain. Tahun 2007 lalu, Purdue Pharma harus membayar denda sebesar 634 Juta Dolar AS, akibat klaim salah tersebut.
Tetapi efek rusaknya telah terjadi. Pada tahun 1991 saja, 76 juta resep obat ditulis sebagai opioid. Pada tahun 2011, jumlahnya mencapai 219 juta, yang cukup untuk menyediakan satu botol pil per warga berumur lebih dari 15 tahun.
Resep untuk pereda nyeri tentu tidak meningkat menjadi adiksi heroin bagi semua pasien. Walau banyak yang ketergantungan dan adiksi hanya terbatas pada heroin saja. Menurut NIDA, hanya empat persen pecandu resep opioid, yang berlanjut menggunakan heroin dalam waktu lima tahun berikutnya.
Tetap saja, adiksi pada pereda nyeri opioid adalah resiko utama bagi candu heroin. Pecandu marijuana (ganja) tiga kali lipat lebih beresiko adiksi heroin, daripada yang tidak candu obat. Pecandu kokain bahkan mencapai resiko 15 kali lipat.
Menurut pernyataan Pusat Kendali Penyakit (CDC) AS, pecandu obat resep opioid 40 kali lipat lebih beresiko adiksi pada heroin.
"Mereka memulai dengan pil, lalu transisi menjadi heroin. Teman dan sejawat pecandu lalu membantu mereka menyediakan obat. Selain lebih murah, mereka masih bisa candu akibat tidak mendapatkan resep untuk pil lagi," ujar Compton.
Masalahnya adalah akses dan biaya transisi dari pil menuju heroin. "Di banyak pasar (gelap), harga opioid per miligramnya, heroin lebih murah," ujar Compton.
Banyak pecandu opioid tetap sadar akan stigma yang melekat pada heroin. Tetapi, Grinspoon menyatakan bahwa adiksi bukanlah penyakit, dan stigma serta rasa takut tidak berefek banyak bagi para pecandu.
Grinspoon menyatakan bahwa akses dirinya pada pil, mencegah agar tidak mencoba heroin, daripada dasar moral atau persepsi apapun.
"Saya dapat memiliki pil. Sebagai dokter, saya sering mendapat pil secara gratis. Heroin memiliki stigma, yang tidak ingin saya dapatkan sebagai seorang dokter. Hal tersebut adalah batas lainnya yang mungkin saya lewati," ujar Grinspoon.
"Akibat adiksi, pengambilan keputusan baik akan berkurang. Setelah beberapa lama, adiksi-lah yang mengambil alih. Semakin lama, pecandu akan semakin berkurang kendali sikapnya," tambah Compton.
Compton menyatakan bahwa rasa takut dan ragu untuk menggunakan heroin, adalah menyehatkan, tetapi adiksi heroin tetap tidak lebih buruk daripada adiksi opioid. "Masih banyak pecandu yang meninggal akibat overdosis pil, sama seperti akibat heroin," ujar Compton.
Jalan Kesembuhan
Dari seluruh AS, dikenalnya epidemi heroin, dan peran resep opioid, telah menarik perhatian para pembuat kebijakan hukum. Saat kepemimpinan Obama, dana 1,1 Milyar Dolar AS ditujukan untuk membantu perawatan adiksi opioid.
Asosiasi Gubernur Nasional (NGA) AS telah membuat sebuah panduan untuk mengurangi jenis dan jumlah resep dokter. Kebijakan ini menyulitkan para pemberi resep, tetapi mendapat dukungan dari organisasi (masyarakat) lainnya.
Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS menargetkan tiga kebijakan, yaitu meningkatkan pelatihan bagi ahli medis dan pemberi resep, akses terhadap nalokson (perawatan overdosis), dan pengembangan Perawatan Bantuan Medikasi (MAT).
MAT adalah perawatan yang memberikan obat seperti opioid, untuk mengurangi gejala penarikan dan kambuh (alias sakau).
Di berbagai kota kecil dan besar, usaha untuk mengurangi adiksi opioid, telah menghasilkan banyak solusi inovatif.
Sebelumnya dianggap sebagai aktifitas kriminal, kecanduan dan penyalahgunaan obat dianggap sebagai penyakit. Kecanduan obat mendapatkan hukuman yang tidak berat, dan dilaksanakan untuk mendukung kesembuhan pasiennya.
Di Gloucester, Massachusetts, wilayah yang banyak mengalami penyalahgunaan opioid dan overdosis, memberi inisiatif bagi kepolisian setempat. Program ini memperbolehkan pecandu untuk mendatangi kantor kepolisian, dan mengakses layanan kesembuhan candu.
Mereka tidak ditangkap dan didakwa aktifitas kriminal. Tetapi dibawa ke rumah sakit terdekat. Dengan bantuan sukarelawan, pecandu akan diberikan perawatan langsung.
Di Rumah Sakit Darurat Yale-New Haven, sebuah studi membuktikan bahwa pecandu yang ketergantungan opioid, mereka lalu diberikan obat bupernorfin (sejenis obat MAT). Pasien akan menjalani perawatan kesembuhan setelah 30 hari lamanya, daripada yang dirawat langsung.
Naksolon adalah obat perawatan overdosis yang kini dibawa langsung oleh anggota kepolisian dan regu penyelamat di seluruh negara AS. Obat yang sama, CVS dan Wallgreen dijual di Ohio dengan bebas, tanpa butuh resep dari dokter.
Dua puluh negara bagian AS dan Washington DC, telah melaksanakan hukum Samaritan 911. Hukum ini memberikan amnesti khusus bagi pecandu overdosis yang mencari bantuan perawatan medis, bahkan jika obat opioid sedang dibawa bersamanya, atau sedang dalam pengaruh obat.
Seluruh perkembangan diatas, tidak berarti belum dikritisi.
Selama lebih dari satu dekade, penyalahgunaan heroin meningkat 114 persen bagi populasi warga kulit putih, dan meningkat 77 persen bagi warga berpendapatan menengah.
Beberapa mengkritisi bahwa penyalahgunaan obat sebagai penyakit adiksi, dan berkurangnya hukuman bagi pecandunya, hanya terjadi akibat warga kulit putih menengah kini ikut terjangkit masalah ini.
"Di satu sisi, tampaknya tidak adil bagi kaum minoritas untuk dirawat kurang layak dari penyakit ini. Di sisi lain, paradigma telah berubah menjadi masalah semua orang. Karena adiksi adalah sebuah penyakit yang perlu dirawat, dan bukannya dihukum," ujar Grinspoon.
Compton menyatakan pula bahwa NIDA telah menjadi pendukung kombinasi dari kesehatan publik dan proses peradilan hukum bagi kriminal, agar warga mendapat layanan yang mereka butuhkan.
Compton menegaskan bahwa terdapat saling tumpang tindih antara deskripsi pecandu dan tahanan hukum. Berarti, mencegah kambuh candu obat tidak berbeda dengan mencegah residivis.
"Kesehatan publik beroperasi dengan usaha agar pasien tidak keluar dari perawatan kesehatannya. Petugas hukum pun mengalami hal yang sama. Ketika seorang terdakwa hukum ditahan, maka resikonya tetap tinggi setelah mereka keluar penjara, jika penyedianya tidak memberikan perawatan," ujar Compton.
"Bagi siapapun yang melaksanakan kegiatan ilegal atau sikap berbahaya, yang sering terjadi di lokasi penyalahgunaan obat, maka dengan saling bekerja sama, semuanya dapat meraih hasil yang baik," tutup Compton.
Komentar
Posting Komentar