Dua Film Animasi Legendaris dari Ghibli Tayang Ulang di Indonesia

 

San yang tengah menunggangi serigala raksasa (TMDB).

Di bulan Agustus ini, film masih ramai dengan rasa kemerdekaan. Bahkan sinema Indonesia, merilis beberapa film dari Jepang, yang berformat anime. Film yang dipilih pun cukup legendaris, karena berasal dari studio animasi ternama Jepang, yaitu Studio Ghibli. 

Sejak didirikan tahun 1985 lalu, Studio Ghibli telah menelurkan beberapa animasi legendaris yang dikenang sampai sekarang. Saking hebatnya, berbagai jenis penghargaan diraih Ghibli, setiap kali merilis filmnya.

Khusus untuk yang dirilis bulan Agustus di Indonesia, temanya cukup mirip, yaitu berjudul Hotaru no haka (Grave of Fireflies;1988). Satu lagi adalah Mononoke-hime (Princess Mononoke;1997), yang masih sesuai dengan khas karya Ghibli, yaitu cerita fantasi mengenai hubungan alam dan manusianya.

Film Hotaru no haka (Grave of Fireflies)

Film pertama, Hotaru no haka, adalah salah satu kisah sukses nan berbeda dari Studio Ghibli, yang berlatar kehidupan Jepang saat akhir Perang Dunia 2, tahun 1945 lalu.

Plotnya pun cukup dalam, yaitu mengisahkan sepasang yatim-piatu, adik-kakak, yang harus bertahan hidup sendiri tanpa bantuan orangtua, atau bahkan orang dewasa lainnya.

Dalam cuplikannya, terlihat Seita (Tsutomo Tatsumi) sang kakak laki-laki, dengan adik perempuannya yang bernama Setsuko (Ayano Shiraishi), tengah berjalan dengan hanya berdua saja. 

Rumah mereka telah terbakar hebat, dan tanpa kehadiran orangtua, mereka harus bertahan hidup. Adik-kakak tersebut akhirnya berhasil menemukan serangkaian bunker, yang menjadi hunian sementara mereka. 

Sementara di kota, banyak lokasi telah menjadi puing reruntuhan akibat serangan. Seita yang sempat menyaksikannya, terpaksa bertahan di bunker, karena kota bukanlah pilihan yang baik di masa tersebut.

Jadi, bagaimanapun kisahnya, bahkan Jepang sebagai penindas saat momen sejarahnya, korban sipil terus berjatuhan tanpa henti, dan menghentikan hampir seluruh perkembangan yang ada dan tercapai sebelumnya.

Terbalik dengan istilah latin 'Si vis pacem parabellum,' yang berarti 'saat masa damai, maka bersiaplah untuk perang,' justru tidak ada satupun hal yang didapat dari konflik bersenjata jenis apapun.

Hanya satu yang dimenangkan dari peperangan, yaitu kedamaian, yang tentu tidak butuh perang untuk mempertahankannya. Kedamaian dicapai dengan membangun, sementara konflik hanya mampu menghancurkannya.

Film Mononoke-hime (Princess Mononoke)

Berikutnya adalah film yang lebih mengacu pada fantasi, dengan berlandaskan mitologi dari Jepang dan Ainu sekaligus dalam satu latar, berjudul Mononoke-hime (Princess Mononoke).

Film Mononoko-hime adalah kisah yang lebih mengutamakan visual bagus, dan distrudarai serta ditulis oleh sineas legendaris dari Ghibli, yaitu Hayao Miyazaki.

Kisahnya memang mengacu pada fantasi mitologi di kepulauan Jepang, dimana banyak hewan fantastis, siluman, hingga bahkan dewa (kami) yang berkeliaran bebas bersama manusia.

Walau begitu, perkembangan manusia pun sudah cukup maju, karena terlihat manusia sudah dapat menggunakan senapan, yang tentu lengkap dengan peluru dan bubuk mesiunya.

Dilihat dari cuplikannya, Ashitaka (Yoji Matsuda) adalah seorang ksatria dan pangeran muda. Saat tengah berburu babi hutan kolosal, bersama rusa raksasa tunggangannya, dia terkena kutukan aneh. Dukun lokal memberinya saran, bahwa Ashitaka harus pergi ke barat, demi menghilangkan kutukannya.

Saat tiba di barat, Ashitaka sempat bertemu dengan San (Yuriko Ishida), yang tengah beristirahat bersama keluarga serigala putihnya, di pesisir sungai. San yang tidak ingin bertemu manusia lain, melarikan diri bersama kawannanya.

Ternyata, setelah sampai di kota dan bertemu dengan warga setempat, Ashitaka menyadari bahwa sedang terjadi konflik antara Kota Besi dan kawanan San.

Kedua pihak berseteru akibat perebutan wilayah, yang dipertahankan dengan sengit oleh keduanya. Kota Besi ingin memperluas wilayahnya, sementara San tidak ingin hutan kediamannya diganggu. 

Kota Besi pun berpendapat, bahwa jika konflik ingin selesai, maka San bersama kawanan serigalanya harus dibasmi. Demi menargetkan tujuan utamanya sekaligus, pasukan Kota Besi harus menghabisi pula dewa leluhur setempat, agar hutannya dapat digunakan bebas.

Ashitaka pun terjebak diantara kedua belah pihak, padahal dia harus mencari cara agar dapat terbebas dari kutukannya. Ashitaka akhirnya perlu mendalami konflik tersebut, sementara badannya semakin sakit.

Dilihat dari segi visualnya, memang mengacu pada dua budaya berbeda di Jepang. Ashitaka dan manusia dari Kota Besi, telah menggunakan baju yukata dan senjata, yang sesuai dengan tradisi ala Jomon dan Yamato. Sementara dari sisi San, terlihat bajunya seperti suku Ainu, yang jelas terlihat kesukuannya.

Walau sebenarnya di dunia nyata tidak sempat terjadi konflik antara Jomon dan Yamato yang berasal dari dataran utama Asia, dengan suku Ainu yang berada di wilayah utara (sekitar) Hokkaido, namun film ini menjadi simbol khusus akulturasi keduanya di Jepang.

Sekali lagi, memang fiktif, tetapi sebuah kisah dapat membuat simbol sebagai referensi atas apa yang telah terjadi di dunia nyata, dengan maksud yang lebih dramatis (!)

Nah, bagi yang penasaran dengan kedua film tersebut, kini tengah tayang di banyak sinema Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Negara Mengakui Kedaulatan Negara Palestina saat Majelis Umum PBB

Contoh Kasus Obat Resep Dokter Berujung Adiksi Heroin

Cara Louis Braille Merelovusi Sistem Penulisan Aksara

Timo Tjahjanto Menyutradarai Film Nobody 2

Animasi 2D Mantap dari Indonesia ala Panji Tengkorak

Sejarah Awal Terbentuknya Pariwisata Sebagai Komoditas Budaya

Fitur Keamanan Instagram dan Youtube Bagi Anak Kecil dan Remaja

Sungai Sebagai Bagian Peradaban Manusia

Para Biarawan Sempat Membantu Inovasi Bahasa Isyarat

Gejala dan Pencegahan Demam Berdarah