Tim Friede Digigit Ular Berbisa Sebanyak Ratusan Kali

 

Ilustrasi ular kobra yang sangat berbisa (Pexels).

Tim Friede yang depresi setelah serangan 11 September 2001 lalu di Amerika Serikat, akhirnya pergi ke ruang bawah tanah rumahnya. Dia lalu membiarkan dua ekor ular paling berbisa sedunia menggigitnya.

Dilansir dari Yahoo News, empat hari kemudian dia bangun dari koma. "Saya tahu rasanya mati digigit oleh ular berbisa," ujar Friede, seperti dilansir oleh AFP, dari rumahnya di Two Rivers, Wiscounsin, Amerika Serikat.

Eksperimen Pribadi Tim Friede

Pengalaman digigit ular harusnya menyebabkan orang biasa untuk takut, dan tidak mendekati ular berbisa, namun Friede justru berniat untuk lebih hati-hati kedepannya saat digigit.

Sejak tahun 2000 hingga 2018, Friede membiarkan dirinya digigit oleh ular berbisa sebanyak 200 kali. Tidak hanya itu, dia seringkali menyuntikkan bisa pada dirinya, hingga 650 kali.

Friede terus berusaha menahan rasa sakit akibat bisa ular, karena dia ingin kebal total. Praktek ekstreme ini disebut dengan istilah mithridatism, yang tidak boleh dipraktekkan di rumah.

Praktek seperti ini sering dilaksanakan oleh banyak pawang ular di Asia. Khususnya di Indonesia, contoh pawang ular terkenal yang cukup kebal dari bisa adalah Panji Petualang. 

"Rasanya sakit sekali setiap digigit. Saya sempat digigit oleh ular tidak berbisa saat berumur lima tahun. Saya takut, menangis, lalu kabur melarikan diri," ujar Friede yang kini berumur 57 tahun.

Sejak saat itu, dia memiliki hobi untuk memelihara ular di rumahnya, dengan menyembunyikannya di toples acar. Ibunya yang khawatir lalu memarahinya, tetapi Friede tetap gigih akan hobinya.

Hobinya semakin liar saat Friede mengikuti sebuah seminar, yang mengajarkan dirinya untuk dapat memeras bisa dari ular. Disana dia tahu bagaimana vaksin anti bisa diproduksi, yang belum berubah selama 125 tahun terakhir.

Mulai dari situ, dia mulai menyuntikan dosis kecil bisa ular kepada beberapa hewan ternak, contohnya adalah kuda. Memang, praktek tersebut bisa memproduksi antibodi yang nantinya diekstrak sebagai vaksin bisa ular. 

Namun proses ini biasanya menghasilkan vaksin anti bisa yang hanya cocok pada spesies ular tersebut. Tidak hanya itu, beberapa sumber antibodi, contohnya dari kuda, memiliki efek samping berbahaya, seperti syok anafilaksis.

"Lalu saya berpikir, jika mereka sanggup membuat vaksin anti bisa dari kuda, mengapa tidak saya saja sebagai eksperimen primata?" ujar Friede. Sejak saat itu, Friede mulai menggigit dirinya dengan berbagai jenis ular berbisa yang dapat dimilikinya, mulai dari ular kobra, taipan, mamba hitam, dan derik.

Setelah beberapa tahun lamanya, Friede yakin dirinya dapat menjadi dasar atas pembuatan vaksin anti bisa, yang lebih baik dari standarnya. Friede adalah seorang mantan mekanik truk dan tidak memiliki gelar universitas, sehingga kurang meyakinkan bagi para ahli.

Keberhasilan Tim Friede Membantu Pengembangan Vaksin Anti Bisa

Selama beberapa tahun lamanya, para peneliti vaksin anti bisa yang dihubungi oleh Friede, menolak untuk menanggapinya. Namun, tahun 2017 lalu, ahli imunologi Jacob Glanville yang tengah meneliti vaksin universal, mengalihkan perhatiannya pada vaksin anti bisa.

Glanville menyatakan bahwa dia membaca artikel tentang Friede, yang seringkali digigit ular berbisa demi eksperimen pribadi. Lalu, Glanvill pun menghubungi Friede demi penelitiannya.

Ketika pertama kalinya mereka berkomunikasi, Glanville menyatakan dengan canggung, "Saya ingin mengambil sampel dari darah anda (Friede)." Friede lalu menjawab "Saya sudah menunggu momen ini dalam waktu yang lama."

Vaksin anti bisa yang dijabarkan pada jurnal Cell, berisi dua antibodi dari darah Friede, termasuk diantaranya adalah obat bernama varespladib. Vaksin anti bisa ini berhasil melindungi seekor tikus, berjumlah 13 bisa dari 19 ular yang dites. Enam sisanya masih memiliki setengah potensi kekebalan bisa.

Para peneliti tengah mencoba untuk dapat membuat antibodi bagi banyak ular berbisa lainnya, khususnya ular beludak. Penelitian lanjutan kini tengah direncanakan menggunakan anjing di Australia.

Para peneliti kini berharap bahwa kekebalan yang tinggi Friede atas bisa ular, dapat memberi jalan bagi pengembangan vaksin anti bisa yang universal. Pengembangan vaksin dari Friede dapat memenuhi kebutuhan anti bisa, yang standarnya saat ini  hanya sanggup menanggulangi beberapa jenis dari 600 spesies ular berbisa.

Glanville memiliki tujuan utama bagi Centivax, firma vaksin miliknya di AS, agar dapat mengembangkan vaksin anti bisa seperti EpiPen, sebuah vaksin anti alergi. Agar biaya produksi turun, maka vaksin ini berpotensi diproduksi di India.

Friede menyatakan pula bahwa dirinya bangga, karena dapat sedikit berkontribusi pada dunia medis. Kini Friede bekerja di Centivax, dan berhenti menyuntikan dirinya dengan bisa sejak 2018 lalu.

Hal ini ditujukan agar Centivax tidak mengalami masalah hukum. Namun, dia berharap dirinya masih dapat digigit ular berbisa lagi. "Kadang, saya merasa kangen (digigit ular berbisa)," ujar Friede. 

Pada bulan Mei 2025 lalu, sebuah kajian dari jurnal Cell berhasil membuktikan antibodi dari darah Friede, yang sanggup melindungi tubuh dari berbagai spesies ular berbisa.

Kondisi Dunia Atas Gigitan Ular Berbisa

Menurut World Health Organization (WHO), 138 ribu warga setiap tahunnya menjadi korban jiwa akibat gigitan ular berbisa. Sementara empat ratus ribu warga lainnya teramputasi, atau mengalami cacat fisik akibat gigitan tersebut setiap tahunnya.

Jumlah ini masih dianggap kurang tepat, karena banyak korban gigitan bisa ular berada di area yang miskin atau terpencil, sehingga tidak terdata sama sekali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Negara Mengakui Kedaulatan Negara Palestina saat Majelis Umum PBB

Contoh Kasus Obat Resep Dokter Berujung Adiksi Heroin

Cara Louis Braille Merelovusi Sistem Penulisan Aksara

Timo Tjahjanto Menyutradarai Film Nobody 2

Animasi 2D Mantap dari Indonesia ala Panji Tengkorak

Sejarah Awal Terbentuknya Pariwisata Sebagai Komoditas Budaya

Fitur Keamanan Instagram dan Youtube Bagi Anak Kecil dan Remaja

Sungai Sebagai Bagian Peradaban Manusia

Para Biarawan Sempat Membantu Inovasi Bahasa Isyarat

Gejala dan Pencegahan Demam Berdarah